Senin, 22 Agustus 2011

The Book of Hope 1

Hope, Dia memandangi foto keluarga kecil dimana hanya ada seorang ayah dan anak yang kecil berambut pendek dengan tatapan kosong berdiri disebelah lelaki setengah baya yang sangat tampak merasakan banyak kenyamanan dalam karir kehidupan.

Pintu berdebam dari balik kamar, paman dan bibinya pergi, kini dia seorang diri di rumah, dalam kamar yang langsung berhadapan dengan sebuah jurang yang berani menantang laut. Dia selalu berdoa, berharap bisa keluar dari rumah yang indah itu, rumah yang dibangun oleh ayahnya untuknya, tapi ketika sang ayah meninggalkannya dalam ketiadaan yang beku, kini paman dan bibinya berusaha merampas rumah indah itu, menjadikannya sebuah kurungan. Cantik diterpa sinar matahari sore, sangat manis dibayangi sinar matahari pagi.

Dia berpikir lama sekali sengaja membelakangi kaca-kaca rumah kemilau yang berpendar silau lalu menghangat, dan menyembuhkan. Sinar matahari menghangatkan punggung kecil dan ciut, tampak keraguan bersembunyi dalam kulit punggung yang dikuatkan oleh rusuk yang tidak juga meyakinkan akan kekuatan sebuah keyakinan. Dia selalu tau, semua kebebasan yang ingin dia lakukan adalah sebuah ketidakpastian, konyol, dan mungkin palsu. Betapa sebuah keinginan akan selalu ingin, ingin, dan ingin terus dilakukan sekalipun tidak perlu dilakukan. Dia keluar dari kamar berjalan sigap namun penuh awas menuju pintu selamat datang. Mengguncang-guncang sebuah benda alumunium bewarna emas yang dibayangi wajah kuyu namun penuh dengan rasa ingin tahu, sayang sekali pintu tak jua terbuka. Paman dan bibinya telah mengunci pintu.

Resah, dia menggerakan gigi-giginya ke kanan dan ke kiri. Kebiasaan kecil yang terbawa hingga 15 tahun lamanya. Tanpa lama memandang pintu terkunci itu, dia kembali ke kamarnya dengan terisak lara tanpa rona muka yang jelas, melemparkan pot bunga tanah liat yang berisi anggrek ungu mekar ke kaca indah, seorang teman dalam duka, mimpi, dan kenangan sang ayah. praank! kaca pecah, gaungnya menguasai keheningan ruang-ruang rumah pesakitan itu, namun pecahannya tidak sebesar yang dia harapkan. Sekejap ketakutan menyergapnya, dia takut paman dan bibinya mengamuk dan bukan saja mengurung tapi menyeretnya ke kamar yang lain tiada kaca-kaca indah ini lagi, tiada keindahan jurang kecil dan laut lepasnya. Rasa senangpun turut menjalari segenap hatinya, bukan tidak mungkin dia melemparkan sebuah kursi hingga kaca benar-benar pecah beribu lalu terpenuhi sudah keinginan akan kebebasan tanpa sepengetahuan seorangpun.

Dia selalu tau ketika pergi dari rumah berkaca panjang itu dia mungkin akan terancam nyawanya, bukan hanya soal ketidakstabilan mental yang dia punya, tapi soal kesenangan yang membutakan mata, membuatnya menjadi seseorang yang lupa daratan, lepas kendali, liar, payah, dan tumbuh berani untuk menjadi seorang pengecut yang mecicit seperti seekor tikus kecil mencari makanan sisa di tempat yang lembab, kotor, dan penuh dengan dosa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar