Saya tidak punya banyak referensi soal kehidupan walau saya telah dua puluh tahun menjalani dunia, buta bagi saya mengenai hidup dan segala kegilaannya. Saya seperti pemudi biasa punya cita dan juga cinta. Menjalani hidup dengan cara masing-masing beberapa bertahan dengan idealisme, beberapa pula menjalani hari-hari hedonis belia masa kini. Tinggal saya yang menentukan mau dibagaimanakan masa masa ini. Diwarnai kelabu atau kuning mentereng. Terkadang diliputi rasa gembira, terkadang dihinggapi rasa ingin membunuh orang. Beginilah hidup saya, hidup bergantung mood dan suasana hati, masih naif, masih penuh dengan ide gila tapi saya suka hidup saya dan biarlah waktu berjalan mengiringinya.
Saya tidak pernah tau apa akan betul betul merasa bebas lepas mengejar semua mimpi mimpi saya tanpa ada batasan dari siapapun. Tapi saya sungguh bersyukur masih di beri kesempatan untuk bisa mewarnai hidup walau kadang penuh dengan warna abu abu. Tidak ada waktu untuk merasa menyesali kenapa saya harus hidup dan mengukir pahala atau dosa. Saya mungkin merasa hidup saya bergembira saat membuat entri ini tapi dua jam lagi mungkin saya menangis karena alasan sepele.
Tidak pernah terasa, waktu kadang melebihi kecepatan cahaya padahal rasanya baru kemarin saya lulus SD. Ada banyak experience di tahun ini yang tak pernah yang saya duga sebelumnya. Everyday it’s a newday, pergantian tahun tak pernah berarti apa-apa. Mungkin ini hanya titik balik tahun semata bagi saya.
Ada digaris hitam, putih, merah, abu-abu, lalu berteman dengan semua kata kata makian bahkan bersahabat dengan kepopuleran anjing dalam berbagai bahasa begitulah dan ya saya akui itu.
Mood yang naik turun, kekecewaan yang membatu, lalu pecah menghilang berganti dengan harapan baru yang beku, mencair, hilang lagi, terus menerus begitu hingga menjadi dewasa, dan menetapkan hati seperti menancapkan nisan kuburan yang digunakan sebagai identitas diri.
Obsesi dan optimisme bergandengan tangan dengan dengan emosi labil yang mendarah daging. Mempertahankan siapa diri saya walau saya sendiri terkadang susah menjawab ketika ditanya siapakah saya yang sebenarnya.
Selalu menganggap nasihat orangtua adalah konfrontasi mereka terhadap mimpi mimpi saya yang tampak semu padahal terlalu nyata ada di dalam benak seakan saya pernah hidup lebih lama dari mereka. Pada akhirnya nasihat mereka terkadang menjadi penerang setelah semua hidup sia-sia tak berbekas di masa muda.
Suka berkontradiksi, membenci semua peraturan, membuat aparatur negara menjadi musuh utama dalam mencari jalan kebebasan. Hingga ketika tua hanya bisa memaki dari ruang televisi atau berkoar di status jejaring sosial bahkan menjadi admin di 1000.000 FACEBOOKER MENCARI KEADILAN, atau bla bla bla. Terkadang saya bertanya, apa itu semua mempengaruhi jalannya pemerintahan?? atau hanya publik intervensi semu yang sekedar memanfaatkan media jejaring sosial untuk mendoktrin pemuda tanggung yang sedang labil-labilnya.
Beberapa hal saya selalu menilai manusia dengan cara saya sendiri lagi-lagi dengan alasan idealisme sementara saya tidak pernah bisa menilai diri saya sendiri dengan objektif. Ego ada diatas segalanya ada diatas kepala orang tua, ada diatas absolutnya pertemanan, ada di atas posesifnya percintaan.
Begitulah saya yang ego, yang suka tak mendengar apa kata orang tua, suka hura hura dan berhuru hara sesuai suasana hati, tak perlu berbohong ketika masih di ambang usia ini, saya suka ini, saya suka menjadi ini, seperti menjalani tutorial game hingga berada dalam permainan dan mencapai puncaknya lalu game over.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar